”Nestapa Kepergian”
“Bapak”
, begitu aku memanggilnya . Kerap datang senyum-senyum yang hidup kala aku
membayangkan wajahnya , kemudian menghampiriku dengan tatapan penuh kasih yang
terlampiaskan pada buah tangan yang dibawanya usai belanja. Hm…Bapak ya … oh
Bapakku , ia bersemayam dalam ketenangan hakiki empat tahun lalu , meninggalkan
kami dalam keadaan benar benar siap. Aku sampai lupa kapan terakhir kali bapak
tersenyum kepadaku , menghampiriku dengan dekapan hangatnya , dan kecupan
kening tiap berangkat kesekolah … ya.. mungkin kini aku sudah terbiasa tanpanya
. kami menjalani hidup seakan tiada yang terjadi.
Pejuang Nafkah, mungkin itu sebutan yang
pantas kala ia masih hidup dan menjadi kepala dalam keluarga kami , bertugaskan
mengais nafkah demi memberi nutrisi pada anak dan keluarganya . Hingga pada
suatu masa datang kepadanya sebuah tanda bahwa tugasnya sebagai pejuang nafkah
telah terselesaikan dan tergantikan , kini ibu kami yang menggantikannya. Hmm…
Lelaki itu , aku masih ingat , ia ajarkan padaku perihal segala yang ia ketahui
dan pantas kuketahui pada usia ku dulu , dianggap belia memang . Bapak adalah
manusia berjuta talenta yang kukenal , ia wariskan padaku sedikit ilmu seninya
sehingga aku dapat menggambar dengan cukup baik , memang tak sebaik teman-temanku
, tak sebaik para guruku , tak sebaik para seniman professional , namun
setidaknya aku bisa untuk menggambar . Namun ia lebih dahulu pergi sebelum
mengajariku bagaimana memainkan kuas dengan lentiknya , bagaimana menyapukan
warna pada kertas , bagaimana memadukan warna warni seni dan menghadirkan
perasaan dalam suatu karya . Lantas, aku harus mencobanya perlahan tanpa
pembimbing, kumulai dengan warna yang ku padukan pada kertas yang sengaja ku
pisahkan untuk percobaan . beberapa polesan mulai memberi warna pada kertas
putih polos itu , satu , dua, tiga ,
enam , delapan , gubrak!!! Aku mulai
mengobrak abrik paduan warna yang tak berhasil padu , kurasa aku memang
membutuhkan seorang yang ahli dalam bidang ini .Ya, kakak perempuanku ia memiliki
bakat bapak yang sedikit lebih banyak dariku , ia yang lebih dahulu bergelut
dengan warna dan berbagai pola pada awal remajanya .” ya aku menemukannya ,
seorang pembimbing!” ucapku dalam hati . Namun, ia tiada bersanding denganku ,
ia melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi luar kota dan mulai bergelut
dalam bidang angka . Ah sudahlah , aku tak ingin lagi membahasnya ! Akhirnya
bakat itu kujadikan hobi dikala luang .
Mari
kuajak kembali empat tahun lalu , meskipun ingatanku sangat samar pada tahun
itu. Baiklah kumulai … Kala itu , sebuah bendungan kokoh tak lagi dapat
menampung air yang bergejolak begitu dahsyat . Datanglah masalah pada keluarga kami hingga orang tua kami tak
lagi bersama , entah mengapa aku lupa bagaimana perasaan ku kala itu. Sudah
lama, kurang lebih enam tahun dari sekarang aku tak lagi bersandingkan dengan
seorang ayah . ia masih menyayangiku dan akan tetap menyayangi kami . Namun ,
ia hanya sedang dirantai dalam masa cobaan didalam bumi gelap yang ada dibalik
kehidupan . Sesempatku kudatangi tempatnya yang tak lagi serumah dengan kami,
sekitar dua atau empat minggu sekali kami berkunjung ke tempatnya . Memang
tempatnya tak begitu buruk ,tapi rindang dan segar . Disana bapakku medirikan
suatu usaha kecil berupa warung di jalanan dalam hutan, ramai pengunjung walau
untuk seseruput kopi ataupun segelas teh
yang ringan harganya, syukur alhamdulillah usahanya berjalan lancar .
Disana kami tak membantu walau hanya menyuguhi
air untuk pembeli . Kami datang sebagai tamu yang mengharapkan perhatian
sekejap untuk berbicara dan menghabiskan beberapa menit dengannya . Tanpa
penghalang! itu harap kami, namun tetap
saja ada duri beracun yang selalu mengitarinya . Duh… wanita itu, enyalah ! mengapa
tak sirna saja dari hadapan kami . Kami mencintai dan menyayangi bapak , namun
kami membencinya, siapa ? ya wanita itu , si duri beracun yang merantai bapakku
dalam dunia gelap yang kukatakan tadi . Kami memilih diam dan menyimpan
kebencian berselimut kecemburuan itu dalam hati kami. Percuma saja bila
diucapkan , duri tetaplah duri, sekeras apapun kita berharap ia jadi kapas
takkan bisa, mustahil , harapan yang sia sia . Mengapa membahasnya? ah aku
terlalu membencinya. Kemudian kami puas dan lampiaskan kerinduan kami pada
sosok bapak yang pernah menopang berdirinya kerajaan kami walaupun saat itu menjadi kekuasaan pihak musuh. Ya …
tak ada yang tak menyusut selain tanah kan ?. Akhirnya dirasa cukup melepas
rindu, kami pulang kerumah kami .
Tak
lama kami pulang dari tempat bapak , dalam hitungan hari kami mendapati kabar
bahwa kesatria tak berkuda kami jatuh sakit, entah sakit yang datang dari balik
dunia itu ataukah sakit kerana duri itu menggoresnya tanpa ampun . Ingin ku
berteriak dan mengadu , tapi pada siapa? kala itu aku masih teramat belia, tak diberi
hak untuk berbicara maupun mencampuri suatu urusan yang akupun terlibat
didalamnya. Ah.. tak adil memang, namun apa yang bisa kuperbuat selain
membiarkan diri ini larut dalam aliran takdir sang Maha Adil . Aku tak
terburu-buru ingin segera menuju muara, karena aku takkan tau kapan aliran itu menunjukkan sisi seni nya, seni
yang ada dalam hidup ini, aku ingin melihatnya aku ingin merasakannya dan memperhatikan
seperti apakah seni dalam hidup? berwujud apa dia? apakah berwujud lukisan indah
karya bapakku yang dipajang dalam dinding rumah ? ataukah berwujud kaligrafi
karya bapak dan ibuku yang tertera indah saat ku membuka pintu ? ataukah
seindah awan yang dilukiskan dalam background langit biru dengan sedikit
sayatan berwarna putih yang disandingkan dengan mentari senja dengan jingga ,
ungu , biru dan gelap yang berpadu menyusun begitu rapi di penghujung sore??
Ataukah seperti apa? aku menantikannya.
Tetap
saja aku menjalani sebuah cerita dimana
bapak akan merasakan lara derita dalam sakitnya , tak lama dirumah sakit
akhirnya diperbolehkan menjalani penyembuhan di rumah, entah saking rajinnya
bapakku atau tuntutan si duri yang harus diberi jatah dalam jumlah banyak,
duh.. borgol, rantai, dan duri wanita itu kerap ingin kubinasakan saja , melihat
mata dan batinku tak sanggup melihat bapakku yang berjuang berbalut keringat ,
mengingat usia yang hampir menua dan keriput yang bermunculan di lekuk wajahnya
. Namun tetap ia lanjutkan pekerjaannya dalam kondisi belum pulih sempurna. Kini
rumah yang ia tempati bagai penjara sang duri yang tiada belas kasihan
didalamnya , memangnya La Sante
penjara yang terkenal kejam dengan kekerasan fisik dan tanpa belas kasihan pada
tahanannya? bapakku tak bersalah, mengapa ia harus ada dalam penjara?. Kala itu
aku masih kecil, belum mengerti mengenai takdir dan segala ketentuan yang Allah
ciptakan untuk makhluknya .
Tak
lama setelah itu, bapak berkunjung kerumah. Ya! rumah kami, ia bertanya
mengenai kabar dan keadaanku serta kakak perempuanku, ia datang karena ia
bermimpi tentang kami tadi malam . seperti biasa , kedatangannya kami sambut
dengan mencium tangannya dengan takdzim dan kami mendapatkan kecupan kening dan
peluk erat seorang ayah yang menyandang kerinduan besar atas kedua anaknya,
peluk hangat itu,,, ah terkadang aku merindukannya . Berbuah tangankan sekardus
mangga dari kebun yang ia tanam, kami persilahkan masuk dan kami suguhkan
beberapa makanan yang sekiranya boleh ia makan, dengan sakitnya itu ia tak
dapat merasakan semua makanan dengan leluasa . Kata demi kata , cerita demi
cerita dan tak lupa akan banyaknya pesan dan nasihat yang ia tuturkan pada kami,
akhirnya ia pamit karena hari beranjak terik dan ia harus memberi makan hewan
ternaknya .Bapak… aku tau mimpi yang kau maksudkan itu seperti sebuah tanda
yang tak rela kau ucap dan kau ceritakan pada kami . ”Bapak, seandainya kala
itu kau ceritakan mimpi yang telah mengganggu fikir dan langkahmu, mungkin kini
aku takkan mengemban rindu yang begitu membendung padamu “ fikirku.
Terpanjatlah
untaian doa gadis kecil dengan bibir mungilnya sedang mengadu kepada Rabb nya,
berharap tiada terjadi suatu kesedihan dan keburukan menimpa bapaknya. Beberapa
hari setelah pulang dari rumah, kami mendapat kabar bahwa ia kembali sakit, terbujur
dalam ruang rawat inap. Mendadak lemas tubuh ini saat kerabat kami mengabarkan
bahwa kini sakitnya teramat parah daripada yang baru saja terobati, syukurlah
ia masih sadarkan diri menatap langit-langit kamar yang entah memikirkan apa,
dengan mulut sedikit terbuka dan selang infuse yang menjalar ditangannya. Kami
bergegas mengunjunginya, datang dan menghujat doa untuk kesembuhannya, kulihat
nenek dengan linang air mata yang kerap tiada henti mengalir dan terus menetes
melihat anaknya kini tak berdaya dengan tubuh lemas dan sakit yang
dirasakannya. Benar… orangtua mana yang tak bersedih dan bingung atas sakit
yang diderita anaknnya ? Begitupun anakmu ini bapak, ia tak sanggup walau hanya
melihatmu terbaring dalam keadaan lemas tiada daya, anak mana yang tak khawatir
dengan kondisi orang tua yang seperti itu? Tentu setiap anak yang memiliki
kasih sayang dan cinta yang tinggi pada orang tuanya akan merasakan kesedihan
yang begitu hebat. Waktu berlalu kian melesat, tak terasa matahari sudah hendak
kembali pada tempat terbenamnya, kemudian pamitlah kami dari ruang tempat bapak
dirawat itu . Hari demi hari kami hanya meminta kabar dan menjalani aktivitas
rumah, ibu pun sibuk mengais rejeki seorang diri untuk kehidupan kami saat ini
dan kehidupan yang layak di masa mendatang. Alhamdulillah kami bersyukur dapati
kabar kondisi bapak yang kabarnya mulai membaik, namun kami belum sempat
berkunjung karena kesibukan kami yang memaksa kami terus fokus padanya. Namun...
kabar baik tidak berlangsung lama, kami kembali mendapati kabar yang memecah
segala suasana, dimana ia, lelakiku, pejuang nafkahku, ia terbaring dalam ruang
yang tidak biasa, banyak kabel yang aku tak tau itu kabel apa, tetapi berada
banyak menempel pada bagian tubuh
bapakku . “ada apa ? mengapa bisa begini ? apa yang telah terjadi? “ Tanyaku ,
dan pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban yang sejalur. Aku hanya mendapatkan
nasehat, support, motivasi, dan hal lain yang mereka pikir mungkin bisa
membuatku berpikir positif pada Penciptaku dan pada makhluk ciptaannya.
Koma
, begitu mereka menyebutnya. Aku tidak begitu paham tentang arti kata itu dalam
usiaku yang masih dini, tapi yang aku, tau itu adalah sebuah kondisi dimana
sakit yang diderita mencapai tingkatan paling parah, nafasmu yang terlihat kian
tersengau dan mata terpejam yang sedikit membuka tanpa sadar memandang apa atau
apa, tak hanya tersentak kaget namun linang air ini seakan ingin segera tumpah
basahi pipi namun tak bisa, masih tertahan, itu yang membuat dadaku terasa
sesak, sesak yang tak berkesudahan . Mengingat baru kemarin kami berpelukan
berbagi hangatnya kasih sayang, mengapa? Mengapa kini engkau tak sadarkan diri
dan terbaring dengan berbagai alat menempel pada tubuhmu? Mengapa ini harus
terjadi?. kulihat nenekku melamun disampingnya, dengan air mata deras yang
berselancar dalam pipi keriput penuh kesedihan. oh Allah .. apa yang tengah
terjadi ? serentak kami dipersatukan dan bertemu dengan keluarga lain di
rumahsakit itu, mereka terus beri kami kekuatan, dorongan dan segala cara untuk
menenangkan kami, mereka pun berdoa agar bapak segera terbangun dalam koma nya
. Tunggu, duri , dimana si duri? aku tak menganggapnya ada . Kerap aku berburuk
sangka bahwa dia penyebab segala kepedihan ini terjadi , aku tak melihat
kesedihan iklhas yang muncul karena sebuah cinta , tidak aku tak melihatnya .
aku hanya melihat raut peran kesedihan yang penuh kepalsuan . Dusta !!! wanita
itu, aku membencinya .Kemudian datang beberapa nasihat padaku tentang segala
ketentuan dan takdir Allah , yang mungkin akan sedikit mengurangi pikir
negatifku pada wanita duri itu. Pahit memang , tiada yang lebih pahit dari
kenyataan melihat duri itu memainkan peran layaknya figuran yang berusaha
menonjolkan dirinya pada suatu cerita. Sudahlah mungkin memang hal seperti ini
yang harus dilalui keluarga kami.
Sekali
dua kali kami mengunjunginya dalam seminggu , memang tak setiap hari karena
jarak rumah dengan rumah sakit butuh waktu tempuh 40 menit untuk sampai. Hari
hari berlalu , semakin tak menentu kegelisahan ini, hingga datang suatu hari
dimana kabar yang tak diharapkan benar benar dikabarkan dengan haru yang tiada
menemui titik ujung. Benar.. bapakku ia telah menghadap Allah , kabarnya
pembuluh darahnya pecah dan tak terselamatkan . sudah berapa kali kami
tersentak karenamu bapak ? apakah ini yang terakhir ? ya kukira ini akan jadi
yang terakhir. Sentakan kaget itu mematahkan semangat kami. Malam itu kami
sudah tak melihat nenek disana. Sudah kuduga , ia takkan kuat, ia pingsan,
serasa tak rela putra satu satunya itu dipanggil kembali dalam pangkuan sang
kuasa dengan air mata yang tak temui titik henti terus berlinang basahi wajah
rapuhnya. Esoknya ia dipulangkan ke rumah nenek untuk di sucikan dalam
pemandian terakhirnya, kami datang sangat pagi untuk mencoba menenangkan nenek
yang tengah meraung raung di pojok rumahnya dengan kasur lusuh sebagai alas, ia
melihat kami, kemudian tangisnya semakin menjadi jadi aku tak kuat menahannya
dan tumpah juga tangis kami, “anakku , kenapa engkau ambil anakku satu satunya
Tuhan, anakku, putraku” rintihannya tak kuatkan insan lain disekelilingnya,
isakan tangis yang mencoba protes pada takdir bahwa anaknya kini takkan kembali
pada pelukannya. Oh bapak mengapa begitu cepat kau tinggalkan kami, siapkah
kami menjalani hidup tanpa adanya wujud dan senyummu yang biasa beri kami semangat
untuk hidup lebih maju, sanggupkah kami ? bisakah kami? . Kemudian kami keluar
untuk menyaksikan dan memandang wajahmu untuk terakhir kalinya didunia ini
dalam prosesi pemandianmu, kami melihat badanmu telah banyak membiru
membuktikan bahwa pembuluh darahnya memang pecah.
Nampak senyum indahmu abadi dalam wajahmu,
hingga kala itu pun kau masih menunjukkannya pada kami , senyum yang akan
tinggal dalam batin anak-anak perempuannya , senyum yang seolah berikan tanda
bahwa kami akan baik-baik saja tanpanya , senyum yang menunjukkan kesiapannya
menghadap sang Pencipta, senyum itu … ingin ku umumkan bahwa bapakku akan
baik-baik saja disana, menunggu kami di tempat penantian abadi, tempat dimana
kita pasti berkumpul dalam ruh tak berjasad. Oh bapak, tangisku tiada dapat
kuhentikan kala senyummu terus kuperhatikan , aku mengamatinya , tiap-tiap
bagian tubuhnya kupandang dengan teliti tanpa terlewat satupun aku ingin
mengingatnya, mengingat jasad terakhir bapakku yang takkan ku temui lagi di
masa kedepan. Tibalah saat dikafankannya bapakku dalam balutan tujuh kain putih dengan beberapa ikatan yang
mengikatnya , kemudian disholatkanlah jasadmu dalam mushola yang dahulu sering kau
adzani, sering kau imamkan jemaah nya , kemudian dirangkaikan tiga rangkaian
bunga untukmu yang akan dipasangkan pada penutup kereta kencana yang kau naiki
, dan dinaikkanlah jasad bapakku pada kereta istimewa itu dimana kereta itu
adalah kendaraan terakhir dengan penumpang yang penuh kepasrahan didalamnya .
Lalu ditutupkan sajadah dan kain hijau berlafadzkan lafadz Allah dalam keretamu
serta tiga rangkaian bunga yang kan mengindahkan perjalananmu yang penuh
nyanyian pengantar yaitu bacaan Tahlil , iya “Tiada Tuhan selain Allah” dan
atas ketetapan dan waktu yang telah ia tentukan pula kita akan kembali padanya
, menghadapnya dan bertanggung jawab atas segala yang telah diberikan-Nya pada
kita.
Bapak
, aku tau engkau pasti tlah siap, engkau telah menyelesaikan perjalananmu
didunia ini , tibalah kini Minggu 4 april pukul 10:00 saatnya engkau
mendapatkan kediaman baru , tempat beristirahat yang sebenarnya , dengan
beralaskan dan beratapkan tanah , bersanding dengan tanah , berada diantara
tanah dan terbujur kaku tak bernafas diatas tanah . sedetik setelah saat itupun
juga kami menjalani keseharian tanpamu , tanpa hangatnya pelukmu , tanpa
kecupan kening penuh kasih sayang , tanpa petuah yang biasa kau ucap dari hitam
merah perjalanan hidupmu . Kini kami, para wanita, kehilangan sebuah penopang
yang biasa membantu kami berdiri dan hadapi getir pahit kehidupan . Hilang…
kami kehilangan dia.
Hari
kedua, tiga, tujuh, dan seterusnya , kami mencoba merangkak mencari sebuah alasan
dan tujuan untuk hidup , mencoba mengikhlaskan sosok penting dalam hidup kami.
Begitu indah kuasa dan skenario Allah. Di awal, kami sudah dipisahkan dengan
bapak terlebih dahulu ketika bapak masih hidup dengan penyebab datangnya duri
yang mengoyak keluarga kami . kemudian kini kami benar benar dibuat kehilangan
dia sepenuhnya. Kami telah disiapkan terlebih dahulu untuk keadaan ini , Allah
itu maha baik, hari demi hari yang kami lalui tanpanya kini mulai menjadi kebiasaan
dan saat ini kami benar-benar telah melepaskannya ,Namun… yang tiada hanyalah
jasad , bapakku yang sebenarnya masih menemaniku , mengawasiku dan mendukung
semua yang kulakukan selagi baik , aku pun tau ia sedang melihatku menuliskan
kata demi kata tentangnya , semoga bapak mengijinkan .
Sudah
empat tahun sejak hilangnya sosok bapak dalam hidupku , memang kerap beberapa
kali diri ini merindukannya tetapi, mengapa engkau tak mencoba hampiriku dan
lepaskan rindu yang teramat sesak ini ?
mengapa kau tak pernah hadir dalam mimpiku bapak? Sedang kakak perempuanku. Ketika
ia merindukanmu , engkau selalu datang dan memeluknya erat tuk larutkan
beberapa beban rindunya , mengapa aku tidak ? .
“baik
sangka pada Allah “ teringat kata itu
terucap dari nasihat ibuku kemarin malam.
Ya..
mungkin bapak sudah dalam keadaan tenangnya hingga membiarkanku fokus untuk
masa depanku dengan tak hadirnya dia yang barangkali akan mengingatkan lagi
padanya . Kini kehidupan kami berjalan dengan baik walau memang pahit pedih
cobaan masih menyelimuti .
Kini
aku sudah remaja , setidaknya lebih banyak mengerti cara menyikapi dan
mengambil makna suatu musibah kehidupan dibanding dulu. Memaknai episode
kehilangan dimana hilangnya sosok bapak di kerasnya dunia yang memaksa kami
menjalani hiruk pikuk dan gelap terang dunia, menjadikan kami lebih sabar , tabah
, kuat , dan ikhlas .Tiadanya bapak dari keluarga kami menjadikan kami lebih
mandiri . Mengapa ? karena kami kehilangan sosok pengayom , pencari nafkah ,
pelindung , pendidik , tempat bersandar dan sumber kekuatan yang secara tidak langsung menjadikan kita
lebih cenderung melakukan semuanya sendiri .
Tak
adanya pelindung membuat kami menjadi pribadi yang pasrah dan mencari tempat
berlindung , dengan tidak adanya bapak menjadikan kami lebih mengharap
perlindungan dari Allah yang Maha Melindungi , tidak adanya pencari nafkah yang
membuat kita harus lebih bekerja keras dan menerima apa yang ada , dengan hanya
berharap rezeki pada Allah yang Mahakaya , tidak adanya pendidik yang membuat
kita harus lebih banyak belajar dari berbagai sumber, tidak adanya tempat
bersandar dan tempat berkeluh kesah, hingga kami menjadikan Allah satu satunya
tempat bersandar , tempat meminta , tempat mengeluhkan segala beban derita,
tempat mengharap dan berserah diri untuk ketentuan dan perjalanan hidup yang
terbaik dari-Nya . Allah itu Mahabaik , ia takkan membiarkan hambanya
kesulitan!. Dan segala kekurangan itu menjadikan kami lebih mendekat hingga jatuh
cinta pada sang Maha Cinta . Perjalanan hidup kami kedepan akan lebih keras
pada dunia dengan jaman yang seperti ini , dengan dekatnya kami pada sang
Pencipta , maka, akan datang berbagai bantuan di setiap masalah tanpa terduga,
dan akan tercukupi segala kebutuhan dalam keadaan kekurangan . Kini hidup yang
kami jalani masih berjalan mengikuti arus. Dengan tenang berbalut kasih sayang, kami siap hadapi
tantangan.