Sabtu, 09 Februari 2019

Cerpen 3000 kata "Nestapa Kepergian"

”Nestapa Kepergian”
“Bapak” , begitu aku memanggilnya . Kerap datang senyum-senyum yang hidup kala aku membayangkan wajahnya , kemudian menghampiriku dengan tatapan penuh kasih yang terlampiaskan pada buah tangan yang dibawanya usai belanja. Hm…Bapak ya … oh Bapakku , ia bersemayam dalam ketenangan hakiki empat tahun lalu , meninggalkan kami dalam keadaan benar benar siap. Aku sampai lupa kapan terakhir kali bapak tersenyum kepadaku , menghampiriku dengan dekapan hangatnya , dan kecupan kening tiap berangkat kesekolah … ya.. mungkin kini aku sudah terbiasa tanpanya . kami menjalani hidup seakan tiada yang terjadi.
 Pejuang Nafkah, mungkin itu sebutan yang pantas kala ia masih hidup dan menjadi kepala dalam keluarga kami , bertugaskan mengais nafkah demi memberi nutrisi pada anak dan keluarganya . Hingga pada suatu masa datang kepadanya sebuah tanda bahwa tugasnya sebagai pejuang nafkah telah terselesaikan dan tergantikan , kini ibu kami yang menggantikannya. Hmm… Lelaki itu , aku masih ingat , ia ajarkan padaku perihal segala yang ia ketahui dan pantas kuketahui pada usia ku dulu , dianggap belia memang . Bapak adalah manusia berjuta talenta yang kukenal , ia wariskan padaku sedikit ilmu seninya sehingga aku dapat menggambar dengan cukup baik , memang tak sebaik teman-temanku , tak sebaik para guruku , tak sebaik para seniman professional , namun setidaknya aku bisa untuk menggambar . Namun ia lebih dahulu pergi sebelum mengajariku bagaimana memainkan kuas dengan lentiknya , bagaimana menyapukan warna pada kertas , bagaimana memadukan warna warni seni dan menghadirkan perasaan dalam suatu karya . Lantas, aku harus mencobanya perlahan tanpa pembimbing, kumulai dengan warna yang ku padukan pada kertas yang sengaja ku pisahkan untuk percobaan . beberapa polesan mulai memberi warna pada kertas putih polos  itu , satu , dua, tiga , enam ,  delapan , gubrak!!! Aku mulai mengobrak abrik paduan warna yang tak berhasil padu , kurasa aku memang membutuhkan seorang yang ahli dalam bidang ini .Ya, kakak perempuanku ia memiliki bakat bapak yang sedikit lebih banyak dariku , ia yang lebih dahulu bergelut dengan warna dan berbagai pola pada awal remajanya .” ya aku menemukannya , seorang pembimbing!” ucapku dalam hati . Namun, ia tiada bersanding denganku , ia melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi luar kota dan mulai bergelut dalam bidang angka . Ah sudahlah , aku tak ingin lagi membahasnya ! Akhirnya bakat itu kujadikan hobi dikala luang .
Mari kuajak kembali empat tahun lalu , meskipun ingatanku sangat samar pada tahun itu. Baiklah kumulai … Kala itu , sebuah bendungan kokoh tak lagi dapat menampung air yang bergejolak begitu dahsyat . Datanglah masalah  pada keluarga kami hingga orang tua kami tak lagi bersama , entah mengapa aku lupa bagaimana perasaan ku kala itu. Sudah lama, kurang lebih enam tahun dari sekarang aku tak lagi bersandingkan dengan seorang ayah . ia masih menyayangiku dan akan tetap menyayangi kami . Namun , ia hanya sedang dirantai dalam masa cobaan didalam bumi gelap yang ada dibalik kehidupan . Sesempatku kudatangi tempatnya yang tak lagi serumah dengan kami, sekitar dua atau empat minggu sekali kami berkunjung ke tempatnya . Memang tempatnya tak begitu buruk ,tapi rindang dan segar . Disana bapakku medirikan suatu usaha kecil berupa warung di jalanan dalam hutan, ramai pengunjung walau untuk seseruput kopi ataupun segelas teh  yang ringan harganya, syukur alhamdulillah usahanya berjalan lancar .
 Disana kami tak membantu walau hanya menyuguhi air untuk pembeli . Kami datang sebagai tamu yang mengharapkan perhatian sekejap untuk berbicara dan menghabiskan beberapa menit dengannya . Tanpa penghalang!  itu harap kami, namun tetap saja ada duri beracun yang selalu mengitarinya . Duh… wanita itu, enyalah ! mengapa tak sirna saja dari hadapan kami . Kami mencintai dan menyayangi bapak , namun kami membencinya, siapa ? ya wanita itu , si duri beracun yang merantai bapakku dalam dunia gelap yang kukatakan tadi . Kami memilih diam dan menyimpan kebencian berselimut kecemburuan itu dalam hati kami. Percuma saja bila diucapkan , duri tetaplah duri, sekeras apapun kita berharap ia jadi kapas takkan bisa, mustahil , harapan yang sia sia . Mengapa membahasnya? ah aku terlalu membencinya. Kemudian kami puas dan lampiaskan kerinduan kami pada sosok bapak yang pernah menopang berdirinya kerajaan kami walaupun  saat itu menjadi kekuasaan pihak musuh. Ya … tak ada yang tak menyusut selain tanah kan ?. Akhirnya dirasa cukup melepas rindu, kami pulang kerumah kami .
Tak lama kami pulang dari tempat bapak , dalam hitungan hari kami mendapati kabar bahwa kesatria tak berkuda kami jatuh sakit, entah sakit yang datang dari balik dunia itu ataukah sakit kerana duri itu menggoresnya tanpa ampun . Ingin ku berteriak dan mengadu , tapi pada siapa?  kala itu aku masih teramat belia, tak diberi hak untuk berbicara maupun mencampuri suatu urusan yang akupun terlibat didalamnya. Ah.. tak adil memang, namun apa yang bisa kuperbuat selain membiarkan diri ini larut dalam aliran takdir sang Maha Adil . Aku tak terburu-buru ingin segera menuju muara, karena aku takkan tau kapan  aliran itu menunjukkan sisi seni nya, seni yang ada dalam hidup ini, aku ingin melihatnya aku ingin merasakannya dan memperhatikan seperti apakah seni dalam hidup? berwujud apa dia? apakah berwujud lukisan indah karya bapakku yang dipajang dalam dinding rumah ? ataukah berwujud kaligrafi karya bapak dan ibuku yang tertera indah saat ku membuka pintu ? ataukah seindah awan yang dilukiskan dalam background langit biru dengan sedikit sayatan berwarna putih yang disandingkan dengan mentari senja dengan jingga , ungu , biru dan gelap yang berpadu menyusun begitu rapi di penghujung sore?? Ataukah seperti apa? aku menantikannya.
Tetap saja aku  menjalani sebuah cerita dimana bapak akan merasakan lara derita dalam sakitnya , tak lama dirumah sakit akhirnya diperbolehkan menjalani penyembuhan di rumah, entah saking rajinnya bapakku atau tuntutan si duri yang harus diberi jatah dalam jumlah banyak, duh.. borgol, rantai, dan duri wanita itu kerap ingin kubinasakan saja , melihat mata dan batinku tak sanggup melihat bapakku yang berjuang berbalut keringat , mengingat usia yang hampir menua dan keriput yang bermunculan di lekuk wajahnya . Namun tetap ia lanjutkan pekerjaannya dalam kondisi belum pulih sempurna. Kini rumah yang ia tempati bagai penjara sang duri yang tiada belas kasihan didalamnya , memangnya La Sante penjara yang terkenal kejam dengan kekerasan fisik dan tanpa belas kasihan pada tahanannya? bapakku tak bersalah, mengapa ia harus ada dalam penjara?. Kala itu aku masih kecil, belum mengerti mengenai takdir dan segala ketentuan yang Allah ciptakan untuk makhluknya .



Tak lama setelah itu, bapak berkunjung kerumah. Ya! rumah kami, ia bertanya mengenai kabar dan keadaanku serta kakak perempuanku, ia datang karena ia bermimpi tentang kami tadi malam . seperti biasa , kedatangannya kami sambut dengan mencium tangannya dengan takdzim dan kami mendapatkan kecupan kening dan peluk erat seorang ayah yang menyandang kerinduan besar atas kedua anaknya, peluk hangat itu,,, ah terkadang aku merindukannya . Berbuah tangankan sekardus mangga dari kebun yang ia tanam, kami persilahkan masuk dan kami suguhkan beberapa makanan yang sekiranya boleh ia makan, dengan sakitnya itu ia tak dapat merasakan semua makanan dengan leluasa . Kata demi kata , cerita demi cerita dan tak lupa akan banyaknya pesan dan nasihat yang ia tuturkan pada kami, akhirnya ia pamit karena hari beranjak terik dan ia harus memberi makan hewan ternaknya .Bapak… aku tau mimpi yang kau maksudkan itu seperti sebuah tanda yang tak rela kau ucap dan kau ceritakan pada kami . ”Bapak, seandainya kala itu kau ceritakan mimpi yang telah mengganggu fikir dan langkahmu, mungkin kini aku takkan mengemban rindu yang begitu membendung padamu “ fikirku.
Terpanjatlah untaian doa gadis kecil dengan bibir mungilnya sedang mengadu kepada Rabb nya, berharap tiada terjadi suatu kesedihan dan keburukan menimpa bapaknya. Beberapa hari setelah pulang dari rumah, kami mendapat kabar bahwa ia kembali sakit, terbujur dalam ruang rawat inap. Mendadak lemas tubuh ini saat kerabat kami mengabarkan bahwa kini sakitnya teramat parah daripada yang baru saja terobati, syukurlah ia masih sadarkan diri menatap langit-langit kamar yang entah memikirkan apa, dengan mulut sedikit terbuka dan selang infuse yang menjalar ditangannya. Kami bergegas mengunjunginya, datang dan menghujat doa untuk kesembuhannya, kulihat nenek dengan linang air mata yang kerap tiada henti mengalir dan terus menetes melihat anaknya kini tak berdaya dengan tubuh lemas dan sakit yang dirasakannya. Benar… orangtua mana yang tak bersedih dan bingung atas sakit yang diderita anaknnya ? Begitupun anakmu ini bapak, ia tak sanggup walau hanya melihatmu terbaring dalam keadaan lemas tiada daya, anak mana yang tak khawatir dengan kondisi orang tua yang seperti itu? Tentu setiap anak yang memiliki kasih sayang dan cinta yang tinggi pada orang tuanya akan merasakan kesedihan yang begitu hebat. Waktu berlalu kian melesat, tak terasa matahari sudah hendak kembali pada tempat terbenamnya, kemudian pamitlah kami dari ruang tempat bapak dirawat itu . Hari demi hari kami hanya meminta kabar dan menjalani aktivitas rumah, ibu pun sibuk mengais rejeki seorang diri untuk kehidupan kami saat ini dan kehidupan yang layak di masa mendatang. Alhamdulillah kami bersyukur dapati kabar kondisi bapak yang kabarnya mulai membaik, namun kami belum sempat berkunjung karena kesibukan kami yang memaksa kami terus fokus padanya. Namun... kabar baik tidak berlangsung lama, kami kembali mendapati kabar yang memecah segala suasana, dimana ia, lelakiku, pejuang nafkahku, ia terbaring dalam ruang yang tidak biasa, banyak kabel yang aku tak tau itu kabel apa, tetapi berada banyak menempel pada  bagian tubuh bapakku . “ada apa ? mengapa bisa begini ? apa yang telah terjadi? “ Tanyaku , dan pertanyaan itu tak mendapatkan jawaban yang sejalur. Aku hanya mendapatkan nasehat, support, motivasi, dan hal lain yang mereka pikir mungkin bisa membuatku berpikir positif pada Penciptaku dan pada makhluk ciptaannya.


Koma , begitu mereka menyebutnya. Aku tidak begitu paham tentang arti kata itu dalam usiaku yang masih dini, tapi yang aku, tau itu adalah sebuah kondisi dimana sakit yang diderita mencapai tingkatan paling parah, nafasmu yang terlihat kian tersengau dan mata terpejam yang sedikit membuka tanpa sadar memandang apa atau apa, tak hanya tersentak kaget namun linang air ini seakan ingin segera tumpah basahi pipi namun tak bisa, masih tertahan, itu yang membuat dadaku terasa sesak, sesak yang tak berkesudahan . Mengingat baru kemarin kami berpelukan berbagi hangatnya kasih sayang, mengapa? Mengapa kini engkau tak sadarkan diri dan terbaring dengan berbagai alat menempel pada tubuhmu? Mengapa ini harus terjadi?. kulihat nenekku melamun disampingnya, dengan air mata deras yang berselancar dalam pipi keriput penuh kesedihan. oh Allah .. apa yang tengah terjadi ? serentak kami dipersatukan dan bertemu dengan keluarga lain di rumahsakit itu, mereka terus beri kami kekuatan, dorongan dan segala cara untuk menenangkan kami, mereka pun berdoa agar bapak segera terbangun dalam koma nya . Tunggu, duri , dimana si duri? aku tak menganggapnya ada . Kerap aku berburuk sangka bahwa dia penyebab segala kepedihan ini terjadi , aku tak melihat kesedihan iklhas yang muncul karena sebuah cinta , tidak aku tak melihatnya . aku hanya melihat raut peran kesedihan yang penuh kepalsuan . Dusta !!! wanita itu, aku membencinya .Kemudian datang beberapa nasihat padaku tentang segala ketentuan dan takdir Allah , yang mungkin akan sedikit mengurangi pikir negatifku pada wanita duri itu. Pahit memang , tiada yang lebih pahit dari kenyataan melihat duri itu memainkan peran layaknya figuran yang berusaha menonjolkan dirinya pada suatu cerita. Sudahlah mungkin memang hal seperti ini yang harus dilalui keluarga kami.
Sekali dua kali kami mengunjunginya dalam seminggu , memang tak setiap hari karena jarak rumah dengan rumah sakit butuh waktu tempuh 40 menit untuk sampai. Hari hari berlalu , semakin tak menentu kegelisahan ini, hingga datang suatu hari dimana kabar yang tak diharapkan benar benar dikabarkan dengan haru yang tiada menemui titik ujung. Benar.. bapakku ia telah menghadap Allah , kabarnya pembuluh darahnya pecah dan tak terselamatkan . sudah berapa kali kami tersentak karenamu bapak ? apakah ini yang terakhir ? ya kukira ini akan jadi yang terakhir. Sentakan kaget itu mematahkan semangat kami. Malam itu kami sudah tak melihat nenek disana. Sudah kuduga , ia takkan kuat, ia pingsan, serasa tak rela putra satu satunya itu dipanggil kembali dalam pangkuan sang kuasa dengan air mata yang tak temui titik henti terus berlinang basahi wajah rapuhnya. Esoknya ia dipulangkan ke rumah nenek untuk di sucikan dalam pemandian terakhirnya, kami datang sangat pagi untuk mencoba menenangkan nenek yang tengah meraung raung di pojok rumahnya dengan kasur lusuh sebagai alas, ia melihat kami, kemudian tangisnya semakin menjadi jadi aku tak kuat menahannya dan tumpah juga tangis kami, “anakku , kenapa engkau ambil anakku satu satunya Tuhan, anakku, putraku” rintihannya tak kuatkan insan lain disekelilingnya, isakan tangis yang mencoba protes pada takdir bahwa anaknya kini takkan kembali pada pelukannya. Oh bapak mengapa begitu cepat kau tinggalkan kami, siapkah kami menjalani hidup tanpa adanya wujud dan senyummu yang biasa beri kami semangat untuk hidup lebih maju, sanggupkah kami ? bisakah kami? . Kemudian kami keluar untuk menyaksikan dan memandang wajahmu untuk terakhir kalinya didunia ini dalam prosesi pemandianmu, kami melihat badanmu telah banyak membiru membuktikan bahwa pembuluh darahnya memang pecah.
 Nampak senyum indahmu abadi dalam wajahmu, hingga kala itu pun kau masih menunjukkannya pada kami , senyum yang akan tinggal dalam batin anak-anak perempuannya , senyum yang seolah berikan tanda bahwa kami akan baik-baik saja tanpanya , senyum yang menunjukkan kesiapannya menghadap sang Pencipta, senyum itu … ingin ku umumkan bahwa bapakku akan baik-baik saja disana, menunggu kami di tempat penantian abadi, tempat dimana kita pasti berkumpul dalam ruh tak berjasad. Oh bapak, tangisku tiada dapat kuhentikan kala senyummu terus kuperhatikan , aku mengamatinya , tiap-tiap bagian tubuhnya kupandang dengan teliti tanpa terlewat satupun aku ingin mengingatnya, mengingat jasad terakhir bapakku yang takkan ku temui lagi di masa kedepan. Tibalah saat dikafankannya bapakku dalam balutan tujuh  kain putih dengan beberapa ikatan yang mengikatnya , kemudian disholatkanlah jasadmu dalam mushola yang dahulu sering kau adzani, sering kau imamkan jemaah nya , kemudian dirangkaikan tiga rangkaian bunga untukmu yang akan dipasangkan pada penutup kereta kencana yang kau naiki , dan dinaikkanlah jasad bapakku pada kereta istimewa itu dimana kereta itu adalah kendaraan terakhir dengan penumpang yang penuh kepasrahan didalamnya . Lalu ditutupkan sajadah dan kain hijau berlafadzkan lafadz Allah dalam keretamu serta tiga rangkaian bunga yang kan mengindahkan perjalananmu yang penuh nyanyian pengantar yaitu bacaan Tahlil , iya “Tiada Tuhan selain Allah” dan atas ketetapan dan waktu yang telah ia tentukan pula kita akan kembali padanya , menghadapnya dan bertanggung jawab atas segala yang telah diberikan-Nya pada kita.
Bapak , aku tau engkau pasti tlah siap, engkau telah menyelesaikan perjalananmu didunia ini , tibalah kini Minggu 4 april pukul 10:00 saatnya engkau mendapatkan kediaman baru , tempat beristirahat yang sebenarnya , dengan beralaskan dan beratapkan tanah , bersanding dengan tanah , berada diantara tanah dan terbujur kaku tak bernafas diatas tanah . sedetik setelah saat itupun juga kami menjalani keseharian tanpamu , tanpa hangatnya pelukmu , tanpa kecupan kening penuh kasih sayang , tanpa petuah yang biasa kau ucap dari hitam merah perjalanan hidupmu . Kini kami, para wanita, kehilangan sebuah penopang yang biasa membantu kami berdiri dan hadapi getir pahit kehidupan . Hilang… kami kehilangan dia.
Hari kedua, tiga, tujuh, dan seterusnya , kami mencoba merangkak mencari sebuah alasan dan tujuan untuk hidup , mencoba mengikhlaskan sosok penting dalam hidup kami. Begitu indah kuasa dan skenario Allah. Di awal, kami sudah dipisahkan dengan bapak terlebih dahulu ketika bapak masih hidup dengan penyebab datangnya duri yang mengoyak keluarga kami . kemudian kini kami benar benar dibuat kehilangan dia sepenuhnya. Kami telah disiapkan terlebih dahulu untuk keadaan ini , Allah itu maha baik, hari demi hari yang kami lalui tanpanya kini mulai menjadi kebiasaan dan saat ini kami benar-benar telah melepaskannya ,Namun… yang tiada hanyalah jasad , bapakku yang sebenarnya masih menemaniku , mengawasiku dan mendukung semua yang kulakukan selagi baik , aku pun tau ia sedang melihatku menuliskan kata demi kata tentangnya , semoga bapak mengijinkan .
Sudah empat tahun sejak hilangnya sosok bapak dalam hidupku , memang kerap beberapa kali diri ini merindukannya tetapi, mengapa engkau tak mencoba hampiriku dan lepaskan  rindu yang teramat sesak ini ? mengapa kau tak pernah hadir dalam mimpiku bapak? Sedang kakak perempuanku. Ketika ia merindukanmu , engkau selalu datang dan memeluknya erat tuk larutkan beberapa beban rindunya , mengapa aku tidak ? .
“baik sangka pada Allah “  teringat kata itu terucap dari nasihat ibuku kemarin malam.
Ya.. mungkin bapak sudah dalam keadaan tenangnya hingga membiarkanku fokus untuk masa depanku dengan tak hadirnya dia yang barangkali akan mengingatkan lagi padanya . Kini kehidupan kami berjalan dengan baik walau memang pahit pedih cobaan masih menyelimuti .
Kini aku sudah remaja , setidaknya lebih banyak mengerti cara menyikapi dan mengambil makna suatu musibah kehidupan dibanding dulu. Memaknai episode kehilangan dimana hilangnya sosok bapak di kerasnya dunia yang memaksa kami menjalani hiruk pikuk dan gelap terang dunia, menjadikan kami lebih sabar , tabah , kuat , dan ikhlas .Tiadanya bapak dari keluarga kami menjadikan kami lebih mandiri . Mengapa ? karena kami kehilangan sosok pengayom , pencari nafkah , pelindung , pendidik , tempat bersandar dan sumber kekuatan  yang secara tidak langsung menjadikan kita lebih cenderung melakukan semuanya sendiri .

Tak adanya pelindung membuat kami menjadi pribadi yang pasrah dan mencari tempat berlindung , dengan tidak adanya bapak menjadikan kami lebih mengharap perlindungan dari Allah yang Maha Melindungi , tidak adanya pencari nafkah yang membuat kita harus lebih bekerja keras dan menerima apa yang ada , dengan hanya berharap rezeki pada Allah yang Mahakaya , tidak adanya pendidik yang membuat kita harus lebih banyak belajar dari berbagai sumber, tidak adanya tempat bersandar dan tempat berkeluh kesah, hingga kami menjadikan Allah satu satunya tempat bersandar , tempat meminta , tempat mengeluhkan segala beban derita, tempat mengharap dan berserah diri untuk ketentuan dan perjalanan hidup yang terbaik dari-Nya . Allah itu Mahabaik , ia takkan membiarkan hambanya kesulitan!. Dan segala kekurangan itu menjadikan kami lebih mendekat hingga jatuh cinta pada sang Maha Cinta . Perjalanan hidup kami kedepan akan lebih keras pada dunia dengan jaman yang seperti ini , dengan dekatnya kami pada sang Pencipta , maka, akan datang berbagai bantuan di setiap masalah tanpa terduga, dan akan tercukupi segala kebutuhan dalam keadaan kekurangan . Kini hidup yang kami jalani masih berjalan mengikuti arus. Dengan tenang  berbalut kasih sayang, kami siap hadapi tantangan. 

6 komentar:

  1. ini sudut pandang nya apa yah kak kalau boleh tau? ^^

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. amanat dari cerpen ini apa yah kak? tolong di jawab

    BalasHapus
  4. TaeJa 12" Slingo - Http - Aogi Jin123 카지노사이트 카지노사이트 jeetwin jeetwin カジノ シークレット カジノ シークレット 667Asian Bookie | TfL - FfBET

    BalasHapus